Monday, April 20, 2009

Emansipasi Rasa Terasi

Diantara tulisan tentang Kartini hari ini gw suka banget dengan cara pandang Walentina Waluyanti di Kompas Komunitas (Koki). Walopun sebenernya gw lebih suka kalo judulnya Emansipasi Rasa Sego Pecel coz terasi termasuk dalam daftar makanan yang gw benci tapi citarasa tulisan mba' Walentina Waluyanti sangat sayang kalo dilewatkan (ijin copas-nya disini ya mba... aq ga' punya account Koki Thx 4 Sharing)

==================

Seorang wanita Indonesia yang bekerja sebagai pilot pernah ditanya seputar profesinya. Menurut pengalamannya, apa kesulitannya kalau wanita jadi pilot? Jawabnya, biasanya dia lebih suka para penumpang tidak tahu kalau pesawat itu dipiloti oleh seorang wanita. Kuatirnya kalau itu malah bikin cemas para penumpang. Reaksi penumpang bisa macam-macam. Hah….cilaka dua belas……!!!! Sudah jadi perempuan ….jadi pilot pula bah! Yang bener aja, perempuan kok nyetir pesawat, lha wong parkir mobil aja ndak bisa?


Joke semacam ini bukan cuma di Indonesia saja. Senada dengan itu, candaan semacam ini juga ada di Belanda. Di sebuah toko di Amsterdam mata saya tertumbuk pada tulisan yang terpampang di selembar poster: “Perempuan sudah tidak bisa ngomong apa-apa lagi tentang emansipasi kalau mereka disuruh parkir mobil”. Tentu bukan soal parkir mobil-nya yang mau digarisbawahi. Dan tentu saja soal emansipasi tidak bisa disederhanakan dengan ironi apakah wanita mahir atau tidak mahir memarkir mobil. 

Tapi terasa bahwa lelucon di atas seakan refleksi bagaimana pria melihat ketidakberdayaan wanita yang ingin memperjuangkan sesuatu yang kontradiktif dengan kodrat kewanitaannya. Tidak perduli apakah bagi pria barat, pria timur, anggapan bahwa wanita itu makhluk lemah, adalah anggapan universal…..di mana-mana ya sami mawon alias podo wae. Emansipasi dan gerakan feminisme ini memang punya dua sisi. Di satu pihak intinya perjuangan wanita untuk memperoleh kesetaraan hak dengan pria. Di lain pihak, topik emansipasi ini sering menjadi bahan olok-olok sebagian pria. 

Saya terhenyak ketika seorang pria Belanda mengatakan (bukan bertanya) dengan sok tahu bahwa di Indonesia belum ada emansipasi. Bagaimanapun dangkalnya, alasan bahwa pria asing mencari wanita Indonesia karena kecantikannya yang eksotis, masih lebih baik daripada alasan yang bikin hati saya pedih........yaitu mereka mencari wanita Indonesia, karena mengira wanita Indonesia belum mengenal apa itu emansipasi. Sebagai wanita Indonesia, rasanya sedih melihat bagaimana wanita dan nilai emansipasi diukur dengan begitu dangkal. 

Bukan sekali dua kali, di Belanda sini saya sering ditanya apakah wanita Indonesia tahu apa itu emansipasi? Ah, saya geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan itu. Begitu primitifkah negeriku di mata mereka?  

Mereka tidak tahu, sementara di dunia barat sampai sekarang para wanita masih berkoar-koar dengan gerakan feminisme, jauh sebelumnya sejak abad 19 emansipasi di Indonesia sudah diperjuangkan oleh seorang wanita lemah lembut, manis dan kecil mungil. Semua itu dperjuangkannya dalam diam dengan penuh kelembutan, namun menyimpan kekuatan tersembunyi disertai kedalaman berpikir. 

Mereka masih ribut dengan issue soal layak tidaknya seorang wanita jadi pemimpin negara, sementara Indonesia sudah pernah dipimpin oleh perempuan. Dan jauh sebelum itu kita juga mengenal Tjoet Nyak Dien wanita perkasa yang memimpin langsung sebuah pertempuran di Aceh di tengah para lelaki. 

Ada anggapan umum bahwa emansipasi di Indonesia belum semaju emansipasi di barat. Betulkah begitu? Saya melihatnya dari sudut lain. Ini bukan soal maju atau belum maju. Menurut saya emansipasi di Indonesia memang lain “rasanya”. Tetapi tidak relevan kalau dikatakan emansipasi di Indonesia tidak semaju di negara barat. Keduanya tidak bisa dibandingkan begitu saja secara “tumpek blek”. Emansipasi bagi wanita Indonesia memang “lain”, itu betul. Emansipasi wanita Indonesia yang dibesarkan dengan nasi, lalapan dan sambel terasi tetap lain dengan emansipasi wanita barat yang dibesarkan dengan roti, keju dan kentang. 

Sejak kecil, tumbuh dan mulai mengerti apa itu emansipasi, di benak wanita Indonesia ada visualisasi khusus yang melekat kalau berbicara tentang emansipasi. Ekspresi Kartini yang lembut, gelungan sanggul sederhana, senyum yang sejuk, raut yang menguatkan sosok keibuan, tatapan mata yang teduh, penuh kasih sekaligus cerdas. Itu belum ditambah cara bertutur RA Kartini dalam surat-suratnya yang puitis, indah namun penuh kedalaman, bisa keras tapi tetap santun, serta mampu menunjukkan harga dirinya sebagai wanita dari bangsa yang terjajah.

Hebatnya lagi surat-surat yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), ditulis Kartini dalam bahasa Belanda yang fasih, walaupun tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Wanita lembut yang cerdas, santun, punya harga diri dan berkemauan keras ini, tak bisa dielakkan adalah visualisasi yang mengilhami dan membayang-bayangi emansipasi wanita di Indonesia. 

Semua visualisasi ini bagaikan mengindoktrinasi wanita Indonesia sejak kanak-kanak sampai mengerti dan tahu apa itu emansipasi. Ini seolah menjadi bayang-bayang sekaligus mengimbangi segala macam doktrin modern tentang emansipasi. Visualisasi ini ditambah tradisi, budaya dan adat istiadat kemudian menciptakan ramuan emansipasi ala wanita Indonesia. Sehingga ramuan emansipasi ala wanita Indonesia adalah ramuan antara kelembutan dan kekuatan yang tersembunyi, emansipasi khas Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan emansipasi ala barat. 

Bagaimanapun modern dan tingginya karir wanita Indonesia, tapi secara sadar mereka melakoni emansipasi dengan gaya khas Indonesia. Tahu apa itu emansipasi tapi juga menerima (baca: bukan “nrimo”) kodratnya sebagai wanita. Emansipasi khas Indonesia tadi membuat mereka punya rambu-rambu dan alarm yang tidak sampai membuat mereka memahami emansipasi secara kebablasan, seperti yang banyak saya lihat di Belanda sini. 

Secara kasat mata emansipasi di Belanda berjalan begitu radikal. Sebegitu radikalnya sampai kadang kebablasan. Wanita ingin melakukan apa saja yang mereka mau dengan sebebas-bebasnya. Kebebasan itu hampir tanpa takaran seakan ingin melawan hakekat kodrati wanita. Begitu kebablasannya, sehingga esensi emansipasi yang mestinya menghormati hak yang sama antara pria dan wanita, sering terkesan “tidak menghormati hak sesama manusia”. Semaju-majunya emansipasi, namun di mana-mana baik di negara maju maupun di negara dunia ketiga, masalah hak wanita selalu saja punya sisi yang belum tertangani.

Misalnya di Belanda masih diributkan tentang penghasilan wanita yang lebih rendah daripada pria untuk posisi yang sama. Para wanita Belanda juga masih memprotes soal promosi karir yang lebih memprioritaskan karyawan pria daripada karyawan wanita yang hamil atau wanita yang punya anak kecil. Juga masalah “allochtonen vrouwen” (wanita keturunan asing) yang dianggap sering kurang diperhitungkan di dunia lapangan kerja.

Dan masih sederet masalah lain, yang membuat geram Saskia Wierenga, ketua salah satu organisasi gerakan wanita, dan akhirnya teriak, “Belanda harus punya kementerian urusan emansipasi!”. Lho, kok baru sekarang teriaknya Tante? Weleh....weleh...weleh... kementerian urusan wanita di Indonesia sudah berapa kali ganti menteri, sementara Belanda yang semaju itu baru mau teriak-teriak soal kementerian emansipasi? Itu yang bikin saya mesem-mesem kalau ditanya orang Belanda, “apakah wanita Indonesia mengenal emansipasi?”

Biarpun begitu, harus diakui Indonesia sama repotnya. Berapa banyak wanita Indonesia yang haknya masih terampas, tertindas dan terpinggirkan? Emansipasi yang sebetulnya sudah hadir di Indonesia, mestinya hasilnya bisa dicicipi secara merata. Namun seperti juga di negara maju, problem yang berkaitan dengan hak-hak wanita di Indonesia, masih tetap jadi pekerjaan rumah yang rumit. 

Para wanita yang punya “posisi kunci” di atas sana diharapkan punya kepedulian lebih terhadap nasib sesama wanita. Tolong ribut-ribut soal “bikini ratu kecantikan” disingkirkan dulu. Kaum Mak Pariyem, mBok Tukiyem, serta “kaum Marsinah” dari Sabang sampai Merauke ...yang kemarin masih terseok-seok, hari ini terseok-seok....dan kalau besok masih juga terseok-seok, yang melihat saja pegal, apalagi yang melakoni. Tolong madu emansipasi itu dioptimalkan sistem distribusinya. 

Kalau seorang Raden Ajeng Kartini yang kecil mungil dan lemah lembut, dengan keadaan yang serba terbatas saja bisa mendobrak keangkuhan kebijakan politik kolonialisme..... mestinya para wanita Indonesia di atas sana bisa berbuat sesuatu yang lebih baik dari itu. Semoga!

19 comments:

  1. Harusnya kata-kata ituh diganti yak! hehehe
    "dari gelap menuju terang" bukan "habis gelap terbitlah terang". Asalnya dari kata "minazzulumaati ilannur" yang berarti "dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang" (QS Al Maidah : 16, Ibrahim:1,5). Artinya jauh beda kan?? "dari gelap menuju terang" berarti perjuangan. Sedangkan "habis gelap terbitlah terang" bermakna pasif (kata2 temenkyu ^^).

    Jadi jangan lupa yak, nanti malam di Trans pukul 20.00 ato 19.00 yak? ada film Impian Srintil (dari gelap menuju terang), nonton yukz!!! hehehe...

    ReplyDelete
  2. oo gitu toh alesan knapa skrg disebutnya "dari gelap menuju terang" TFS!!

    entar malem yak? douhh... dah nyampe rumah blm ya?? biasanya gw langsung masuk kamar ajah kalo keduluan pecinta sinetron nongkrongin tipi. pulang cepet ahhh... (smoga pak boz ga' ngasih PR)

    ReplyDelete
  3. srintil? waduh...bukannya itu dari bahasa jawa yang artinya kotoran kambing?

    wekekeekek

    ReplyDelete
  4. srintil? --> ini tokoh di ronggeng dukuh paruk bukan sih?
    keknay familiar
    pdhl blom baca novel itu

    hehehehhee

    ReplyDelete
  5. Tolong dengerin baik2, processor mau bicara! Pesan pentingku, kalau mau cari calon suami, pilih yang soleh ya. Jgn pilih cowo berkarakter preman. Kalau marah tuh, ngancam mau ngebunuh pake pisau dapur ke istrinya, atw apalah, sejenis teror yg bikin stres istri dan anak2, juga orang baik2. Sy ngeri ngeliatnya. Saya benci cowo bodoh kayak gitu. Kalau marah sama org, sy ga mau pake ngancam2, apalagi pake pisau. Seureum bangeut. Kacian kan wanita jd depresi. Yg mau daptar jadi istriku silahkan registrasi. Biaya registrasi, 10ribu. (xixixixi, doh, sory neh, tukang canda,hehehe.)

    ReplyDelete
  6. wkwkwkwk bener Ndah..... terus nyebutin yang bulet kecil2 juga srintil... kalu suka ngikutin dari belakang juga srintil...

    ReplyDelete
  7. sayh juga lum baca novelnya....*tapi perasaan juga familiar, sepertinya ada di folder e-book ku*

    ReplyDelete
  8. Ndaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah... tuh ada yang nawarin suami di rumahmu! Hihihihi....

    ReplyDelete
  9. hallah iki waktunya makan siang koq ya malah membicaraken kotoran sehhh
    srintil itu sandiwara radio bahasa jawa jaman dahulu kala
    ..Srintil.... balekno gembungku.... hihihiiiii..

    *itu srintil pa trinil yak??

    ReplyDelete
  10. entahlah... lum baca buku ini
    cuma ikut sibuk nyariin bukunya pas bukper istora buat mas-nya nusy
    nus.... critane opo sih ronggeng dukuh paruh itu??

    ReplyDelete
  11. whuahahaaa.... iki opo to yo....
    silahkan silahkan danang, ari, titik yg mo ndaftar buruan registrasi!!

    gw nyari suami mah liat matanya ajah... mata pencahariannya apa? :D

    ReplyDelete
  12. klo dit4ku bukan srintil namanya intil
    klo srintil itu panggilan akrab (mungkin gaul kali) bagi yg namanya sri, ya klo skrg namanya misal sri jadi srince ...loh kok jd kayak peserta be a man

    hahaha

    ReplyDelete
  13. Ini apa-apan seehhhh
    mana semangat ke_KARTINI_an kalian!! koq jd OOT gini, ini mbahas hari kartini kangmas mb'yu... bukan srintil, trinil, intil DLL

    **jadi Srince di Be A Man Itu elu Nang?? gw kirim sms deh klo gitu :))

    ReplyDelete
  14. Hehehe, sory mory neh. Banyak wanita yg mrasa mendirita kerana perlakuan pare suame yg ga baek. Hey para wanita, cuba perhatikan itu.renungkanlah sucara surius. Tuing.

    ReplyDelete
  15. Dari kemaren mau komen ga sempet2...

    Srintil itu bener nama tokoh di novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Ceritanya soal si Srintil yang menghidupkan kembali dukuh paruk dengan menjadi ronggeng setelah sekian lama kampung itu ga punya ronggeng. Karena Srintil terus jadi idola orang sekampung, hal ini membuat Rasus, temen masa kecil yg juga pacarnya cemburu trus pergi deh ninggalin kampung itu buat jadi tentara. Kalo ga salah begitu deh ceritanya. Udah lama juga bacanya, minjem pula bukunya, kekekek.

    Soal emansipasi, gue selalu setuju kalo emansipasi haruslah tetap pada tempatnya dan sesuai porsinya. Emansipasi ga boleh sampe kebablasan dengan 'seolah2' merutuki kodrat jadi perempuan & kemudian malah berlomba2 pingin jadi lelaki. Dunia ini memang dibentuk secara patrilineal, dan dalam beberapa hal memang menimbulkan diskriminasi. Secara seksual, laki-laki & perempuan memang berbeda, dan itu kodrati. Tapi secara gender dalam wacana sosial, perempuan dan laki2 punya kesempatan yang sama dalam melakukan sesuatu. Semoga kita semua mampu menempatkan emansipasi sesuai tempatnya.

    *serius amat komen gue yak*

    ReplyDelete
  16. intinya dalam membina hubungan mo pertemanan mo pernikahan adalah saling menghargai
    mo menderita mo bahagia itu adalah suratan takdir masing2 orang, qt selalu berusaha untuk selalu mendapatkan yang terbaik tapi... ga' semua orang bisa hidup ka' di dongeng "happy ever after" :(

    ReplyDelete
  17. lah emang kenape wi, sibuk banyak pesenan yee?? kirimin gw dunx:D
    ** oh gitu to srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk, beda ma sinetron impian srintil semalem. kabarnya bukunya bagus ya.. dulu mba'ku ngikutin crita bersambungnya kalo ga salah di koran suara merdeka
    ** emansipasi... yup ane juge setuju bu. poko'e emansipasi rasa sego pecel lah, mak nyos daaahhhh

    ReplyDelete